Selasa, 26 Mei 2015

Terapi Realitas

Glasser (1975) memperkenalkan terapi realitas sebagai salah satu pendekatan terapi untuk mengatasi berbagai bentuk gangguan psikologis. Sebagai seorang psikiater, ia banyak menemukan kenyataan bahwa berbagai gangguan psikologis yang dialami oleh pasien, yang dirawat di rumah sakit, dilandasi oleh upaya pasien melarikan diri dari tanggung jawab hidupnya. Karena landasan utama terapi realitas adalah untuk memenjarakan pasien untuk bertanggung jawab terhadap hal-hal yang dilakukannya, dan bukan membenamkan diri dalam perasaan-perasaan yang dialaminya.

Terapi realitas bertitik tolak pada paham dasar bahwa manusia memilih perilakunya sendiri dan karena itu ia bertanggung jawab, bukan hanya terhadap apa yang dilakukan, tetapi juga terhadap apa yang ia pikir. Maka terapi realitas bertujuan untuk memberikan kemungkinan dan kesempatan kepada pasien, agar ia bisa mengembangkan kekuatan-kekuatan psikis yang dimilikinya untuk menilai perilakunya sekarang dan apabila perilakunya tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, maka perlu memperoleh perilaku baru yang lebih efektif. Menurut Bassin (1980) kebutuhan merupakan landasan terapi realitas, karena pada pandangan terapi realitas, orang memiliki dua kebutuhan dasar, yaitu:

1.   Kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan yang terus menerus mencari pemuasan melalui berbagai bentuknya.
2.   Kebutuhan untuk merasa diri berguna, memiliki harga diri dan kehormatan yang sama dan saling menunjang dengan kebutuhan akan kasih sayang.

Terapi dengan pendekatan terapi realitas bekerja secara aktif membantu pasien memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Terapi realitas memusatkan perhatian pada perbuatan atau tindakan sekarang dan pikiran yang menjadi dasarnya, bukan pada pemahaman, perasaan, pengalaman yang sudah lewat atau ketidaksadaran. Glasser (1989) mempergunakan konsep perilaku sebagai keseluruhan yang terdiri dari empat komponen, yaitu:

1.    Tindakan (doing) seperti bangun tidur dan berangkat kerja.
2.    Pikiran (thinking) seperti isi pikiran dan pernyataan diri.
3.    Perasaan (feeling) seperti marah, gembira, sakit, dan cemas.
4.    Kefaalan (physiological) seperti berkeringat atau gejala psikosomatik.

Glasser (1975) juga mengungkapkan sejumlah konsep penting dalam melakukan terapi realitas, yaitu:

1.   Setiap orang harus dibawa kepada suatu pemahaman bahwa dirinya turut bertanggung jawab atas penderitaannya. Ia tidak boleh membebankan tanggung jawabnya kepada orang lain, melainkan dirinyalah yang bertanggung jawab atas jalan hidupnya.
2.  Individu harus menyadari bahwa sejarah hidup tak dapat diputar ulang. Akses terhadap pengalaman hidup di masa lampau sangat terbatas, sehingga perubahan yang harus dilakukan juga demikian terbatas. Karenanya, seseorang hendaknya belajar mengubah dirinya sendiri sejak saat kini untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan.
3.  Pasien harus belajar berinteraksi dengan orang lain sesuai dengan pola hubungan interaktifnya, bukan atas landasan transferens (pengalihan hubungan emosional dengan figure tertentu ke fiur tertentu lainnya yang memiliki kemiripan). Setiap hubungan interpersonal adalah unik, dan individu perlu belajar membina hubungan unik sesuai dengan keunikan hubungan interpersonalnya.


DAFTAR PUSTAKA

Gunarsa, S. D. (2007). Konseling dan psikoterapi. 
          Jakarta: Gunung Mulia.
Satiadarma, M.P. (2002). Pura-pura sakit untuk mencari simpati (sindroma mÜnchausen). Jakarta: Pustaka Populer Obor.