Glasser (1975) memperkenalkan terapi realitas
sebagai salah satu pendekatan terapi untuk mengatasi berbagai bentuk gangguan
psikologis. Sebagai seorang psikiater, ia banyak menemukan kenyataan bahwa berbagai
gangguan psikologis yang dialami oleh pasien, yang dirawat di rumah sakit,
dilandasi oleh upaya pasien melarikan diri dari tanggung jawab hidupnya. Karena
landasan utama terapi realitas adalah untuk memenjarakan pasien untuk bertanggung
jawab terhadap hal-hal yang dilakukannya, dan bukan membenamkan diri dalam
perasaan-perasaan yang dialaminya.
Terapi realitas bertitik tolak pada paham dasar bahwa manusia memilih perilakunya sendiri dan karena itu ia bertanggung jawab, bukan hanya terhadap apa yang dilakukan, tetapi juga terhadap apa yang ia pikir. Maka terapi realitas bertujuan untuk memberikan kemungkinan dan kesempatan kepada pasien, agar ia bisa mengembangkan kekuatan-kekuatan psikis yang dimilikinya untuk menilai perilakunya sekarang dan apabila perilakunya tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, maka perlu memperoleh perilaku baru yang lebih efektif. Menurut Bassin (1980) kebutuhan merupakan landasan terapi realitas, karena pada pandangan terapi realitas, orang memiliki dua kebutuhan dasar, yaitu:
1. Kebutuhan akan
kasih sayang, kebutuhan yang terus menerus mencari pemuasan melalui berbagai
bentuknya.
2. Kebutuhan untuk
merasa diri berguna, memiliki harga diri dan kehormatan yang sama dan saling
menunjang dengan kebutuhan akan kasih sayang.
Terapi dengan pendekatan terapi realitas
bekerja secara aktif membantu pasien memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Terapi realitas
memusatkan perhatian pada perbuatan atau tindakan sekarang dan pikiran yang
menjadi dasarnya, bukan pada pemahaman, perasaan, pengalaman yang sudah lewat
atau ketidaksadaran. Glasser (1989) mempergunakan konsep perilaku sebagai
keseluruhan yang terdiri dari empat komponen, yaitu:
1. Tindakan (doing)
seperti bangun tidur dan berangkat kerja.
2. Pikiran (thinking)
seperti isi pikiran dan pernyataan diri.
3. Perasaan (feeling)
seperti marah, gembira, sakit, dan cemas.
4. Kefaalan (physiological)
seperti berkeringat atau gejala psikosomatik.
Glasser (1975) juga mengungkapkan sejumlah
konsep penting dalam melakukan terapi realitas, yaitu:
1. Setiap orang
harus dibawa kepada suatu pemahaman bahwa dirinya turut bertanggung jawab atas
penderitaannya. Ia tidak boleh membebankan tanggung jawabnya kepada orang lain,
melainkan dirinyalah yang bertanggung jawab atas jalan hidupnya.
2. Individu harus
menyadari bahwa sejarah hidup tak dapat diputar ulang. Akses terhadap
pengalaman hidup di masa lampau sangat terbatas, sehingga perubahan yang harus
dilakukan juga demikian terbatas. Karenanya, seseorang hendaknya belajar
mengubah dirinya sendiri sejak saat kini untuk kehidupan yang lebih baik di
masa depan.
3. Pasien harus
belajar berinteraksi dengan orang lain sesuai dengan pola hubungan
interaktifnya, bukan atas landasan transferens (pengalihan hubungan emosional
dengan figure tertentu ke fiur tertentu lainnya yang memiliki kemiripan). Setiap
hubungan interpersonal adalah unik, dan individu perlu belajar membina hubungan
unik sesuai dengan keunikan hubungan interpersonalnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Gunarsa,
S. D. (2007). Konseling dan psikoterapi.
Jakarta: Gunung Mulia.
Jakarta: Gunung Mulia.
Satiadarma, M.P. (2002). Pura-pura sakit untuk
mencari simpati (sindroma mÜnchausen). Jakarta: Pustaka Populer Obor.